Rabu, 11 Maret 2015


Categories:

Belajar

Categories:

Listrik

Categories:

Jumat, 06 Maret 2015

                   "Perang Keinginan"



Manusia hidup dan digerakkan oleh keinginan. Waktu dan segala yang dimiliki manusia dikonsumsi dan dipergunakan untuk merealisasikan keinginan. Tetapi sebuah pertanyaan menghadang kenyataan aksiomatis ini; yaitu kenginan seperti apa dan keinginan siapa yang patut selalu diikuti?


Manusia dalam posisinya dengan keinginan terbagi menjadi beberapa golongan:
Pertama, manusia yang hanya mengikuti keinginan dirinya. Tidak ada yang penting baginya kecuali yang dia mau. Barangkali dia mengira bahwa dirinya merdeka. Merdeka menentukan segala yang dia mau. Merdeka juga berpikir apa saja yang dia bayangkan. Independensi memang penting untuk membentuk kepribadian. Tanpa independensi seorang manusia hanyalah angka satuan yang tidak terlalu penting di tengah milyaran manusia. Tetapi independensi ada batasnya. Manusia yang tidak mengenal batas dirinya cenderung egois dan egosentris. Lebih jauh bahkan al-Qur’an menyebut manusia seperti ini sebagai manusia yang menyembah hawa nafsunya. Allah berfirman di surat al-Jatsiyah ayat 23:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23)
23. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah: 23)
Rasulullah SAW juga menyebut orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya sebagai orang yang lemah.
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ. رواه الترمذي وابن ماجه وأحمد
“Orang yang cerdas adalah yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian, sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya tapi banyak berangan-angan atas (karunia) Allah.” (HR at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Keduamanusia yang tidak punya keinginan independen. Dia selalu didorong oleh pihak luar. Lingkungan, teman, orang tua, bahkan seterunya selalu menjadi pusat perhatiannya, dan selalu mendorongnya untuk bereaksi. Orang seperti ini tidak punya pendirian. Apa kata orang itulah katanya. Ke manapun angin berhembus ke sanalah dia berlayar. Orang seperti sangat dikecam Rasulullah, beliau berkata:
لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا. رواه الترمذي
“Janganlah kalian menjadi orang tidak berpendirian, yang mengatakan ‘jika orang-orang berbuat baik, kami juga berbuat baik, jika mereka berbuat zhalim, kami juga berbuat zhalim.’ Tetapi kuatkanlah pendirian kalian, jika orang-orang berbuat baik, berbuat baiklah, jika mereka berbuat zhalim, jangan kalian berbuat zhalim.” (HR at-Turmudzi)
Ketigamanusia yang selalu berperang antara kemauan dirinya dan kemauan orang lain, dan juga kemauan Sang Pencipta. Dia selalu ingin mendapatkan penerimaan semua pihak tetapi tidak rela mengorbankan keinginan dan ambisi atau syahwatnya. Golongan seperti ini selalu diombang-ambingkan ketidakpastian tujuan. Peperangan sengit dan rumit terjadi dalam diri mereka. Yang mampu menemukan dirinya dalam naungan Allah akan selamat, tetapi yang terus tak mampu menemukan skala prioritas akan hidup dalam pederitaan batin dan gejolak pemikiran yang tak berakhir. Allah membuat perumpamaan terhadap orang seperti ini:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الزمر: 29
29.” Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS az-Zumar: 29)
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ آخِرَتِهِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهَا هَلَكَ. رواه ابن ماجه والحاكم وحسنه الألباني
“Barang siapa yang menjadikan pikiran-pikirannya menjadi satu pikiran yaitu pikiran akhirat, Allah cukupkan masalah dunianya. Dan barang siapa yang pikirannya bercabang-cabang di urusan dunia, Allah tidak perduli di lembah dunia mana dia akan binasa.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim dihasankan oleh al-Albani)
Semoga Allah menyelamatkan kita dari musibah seperti itu.
Keempat, manusia yang menenggelamkan dirinya dalam keinginan Sang Pencipta. Dia hanya menginginkan keridhoan Allah. Dia tahu bahwa dia hanya makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Manusia golongan ini adalah manusia luhur dan suci. Mereka menghayati firman Allah “Katakanlah bahwa sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.”
Tetapi beberapa tantangan serius menghadapi mereka. Tidak sedikit kegagalan terjadi jika anak Adam ini tidak berhasil menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Tantangan pertama adalah tantangan pemahaman. Sejauh mana anak manusia memahami apa yang Allah SWT tuntut darinya. Berapa banyak orang yang serius beribadah bahkan mengorbankan segala yang dia miliki untuk suatu hal yang sebetulnya tidak dituntut darinya. Betapa banyak kewajiban ditinggalkan karena melaksanakan ibadah sunah yang tidak prioritas dalam neraca Syariah. Betapa banyak kewajiban kolektif diabaikan padahal itu menyangkut kepentingan umum disebabkan sang manusia lebih asyik dengan ibadah personal yang porsinya bisa dibatasi. Betapa banyak bid’ah yang dianggap sunnah. Betapa banyak sunnah yang dianggap bid’ah.
Tanpa berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap Qur’an dan Sunnah, sangat sulit seorang muslim dapat dengan tepat melaksanakan peranan dan tugas yang dituntut darinya.
Kesalahan yang paling parah adalah yang terjadi pada golongan yang menganggap bahwa penyerahan diri terhadap Allah adalah bersikap fatalis atau yang dikenal dengan kaum Jabriyah. Bahwa manusia hanya dituntut menyerah pada takdir, tidak perlu berusaha atau merencanakan masa depan yang baik. Iman kepada takdir mereka pahami sebagai sikap pasif terhadap usaha perubahan.
Umar bin Khaththab pernah begitu gusar dengan pemahaman seperti ini, ketika beliau dan beberapa sahabat hendak memasuki daerah yang dilanda wabah. Setelah bermusyawarah akhirnya diputuskan untuk membatalkan kunjungan ke daerah tersebut. Salah seorang sahabat menentang putusan itu, dan berkata, “Apakah kita lari dari takdir Allah?” Umar bin Khaththab terkejut dengan tanggapan tersebut, lalu menjawab, “Iya kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”
Allah mengecam orang-orang yang menggunakan takdir sebagai alasan untuk tidak melaksanakan hal-hal yang seharusnya. Allah berfirman:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
148. “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.”(QS al-An’am: 148)
Iman kepada takdir adalah kebenaran yang wajib diyakini, tetapi hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjajah oleh masa lalu, tersiksa oleh penderitaan masa yang telah lewat, atau tertipu oleh sesuatu yang membuat kita terlena. Allah jelaskan dalam surat al-Hadid apa yang dimaksudkan dengan iman kepada takdir, Allah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
22. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS al-Hadid: 22-23)
Iman kepada takdir membuat seorang muslim tidak tenggelam dalam penderitaan atau tertipu oleh kenikmatan, karena dia sadar bahwa itu semua sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta, Yang Maha Bijaksana dan semua yang Allah tetapkan selalu menyimpan hikmah dan kebijaksanaan. Singkat kata iman kepada takdir dapat menghindarkan sesorang dari pedihnya keputus-asaan dan tipuan kesombongan. Di sisi lain Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat untuk kebaikan dirinya. Rasulullah SAW bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَان. رواه مسلم
“Bersunguh-sungguhlah meraih hal yang bermanfaat untukmu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan melemah. Jika Sesuatu menimpamu janganlah engkau berkata, ‘jika dulu aku lakukan ini pasti terjadi begini atau begitu.’ Tetapi katakanlah, Allah sudah menakdirkan, dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi. Karena kata ‘kalau’ membuka perbuatan setan[1].” (HR Muslim)
Kesalahpahaman lain yang sering terjadi dalam beribadah juga adalah pemahaman bahwa ibadah hanyalah terbatas pada hal-hal ritual. Banyak umat Islam yang masih belum memahami universalitas Islam, bahwa perintah Allah juga mencakup segala kebaikan di berbagai aspek kehidupan. Dengan ringan tangan banyak muslim yang menginfakkan jutaan rupiah untuk pergi haji atau umrah. Tetapi jumlah seperti itu sulit didapatkan untuk membangun proyek-proyek yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama. Umat Islam sadar kalau sholat mereka batal kalau mereka berhadats, tetapi banyak tidak khawatir seluruh amalnya batal karena korupsi, kolusi dan menipu.
Kesalahpahaman yang juga banyak terjadi adalah berlebih-lebihan dan beragama. Ada yang berwudhu tapi sambil membuang air dengan mubadzir, ada yang sibuk mengucapkan niat sampai tidak bisa mengikuti sholat dengan baik dan khusyu’, ada yang sibuk dengan memendekkan pakaian sampai lupa memperhatikan hati dan memperbaiki akhlak. Ada yang terlalu berlebihan dalam masalah-masalah aqidah sampai mengkafirkan sebagian besar umat Islam. Ada yang begitu membenci kekafiran tetapi lupa berdakwah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Begitu bahayanya sikap berlebih-lebihan dalam agama sampai Rasulullah SAW memperingatkan:
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ. رواه النسائي وابن ماجه والبيهقي والطبراني في الكبير وابن حبان وابن خزيمة وصححه الألباني
“Jauhkan diri kalian dari berlebih-lebihan dalam agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR an-Nasa’I, Ibnu Majah, al-Baihaqi, at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah, dan dishahihkan oleh al-Albani)
Begitu banyak kesalahan dalam beribadah terjadi karena ketidakpahaman terhadap Islam. Sebagian besar bersumber dari jauhnya umat Islam dari pemahaman yang baik terhadap Qur’an dan Sunnah. Jarak yang terjadi bervariasi, mulai dari yang tidak pernah membaca al-Qur’an sama sekali, sampai yang membaca tetapi tidak memahami maknanya. Ada yang memahami sebagian kecil lalu merasa cukup dan merasa sudah pandai, bahkan mengira bahwa Islam hanya terangkum dalam beberapa ayat dan hadits. Ada yang mengaku mengerti al-Qur’an dan meninggalkan Hadits. Ada juga yang serius dengan hadits Nabi SAW tapi justru meninggalkan al-Qur’an dengan tidak mentadabburi al-Qur’an dengan rutin.
Apakah itu semua karena memahami agama Islam sulit? Sama sekali tidak. Tetapi siapapun yang menghendaki suatu tempat tapi tidak melalui jalan yang sesuai pasti tidak akan sampai tujuan. Seperti dikatakan oleh seorang penyair:
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا           إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَمْ تَجْرِ عَلَى يَبَسِ
“Kau harap selamat tapi tidak menempuh jalannya
Sesungguhnya bahtera tidak berlayar di atas daratan kering”
Tantangan kedua dalam ibadah adalah diri manusia itu sendiri. Dia berhadapan dengan hawa nafsunya yang sering menggodanya untuk meninggalkan perintah Allah. Dia akan berhadapan godaan dari luar, tetapi semua terkait dengan kekuatan tekad dan keteguhan pendirian hamba Allah tersebut.
Ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang jelas dilarang barangkali masalah menjadi jelas. Yang lebih rumit adalah ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang samar (syubhat), disini dua persoalan merajut satu sama lain sehingga memperumit tantangan. Yang lebih rumit lagi adalah ketika hawa nafsu mendapatkan pembenaran yang palsu. Ketika dalil-dalil syar’I yang mutasyabihat (yang samar) dapat digunakan untuk membenarkan pelanggaran.
Semua tantangan itu tidak mudah. Karena itu ibadah seorang hamba tidak akan sempurna tanpa memohon pertolongan Allah. Oleh sebab itu poros al-Fatihah yang harus diulang-ulang seorang muslim adalah: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.” (Kepada engkau kami menyembah, dan kepada engkau kami memohon pertolongan). Seorang muslim yang menyembah Allah tanpa memohon pertolongan dari-Nya, niscaya akan terjebak dan terjatuh dalam tantangan-tantangan yang sulit dalam perjalan hidup yang penuh dengan ujian.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita. Wallahu waliyyut taufiq.
[1] Yang dimaksud bahwa kalau membuka amal setan dalam hadits ini adalah menyesali masa lalu dan berandai-andai hingga menyiksa diri, padahal masa lalu tak akan diperbaiki hanya dengan penyesalan dan berandai-andai.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2009/03/17/2105/perang-keinginan/#ixzz3TgE0rBF2 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Categories:

Kamis, 19 Februari 2015


Pertanyaan Dari:
Nyak Mat, NBM 874.346,
Ketua PR Muhammadiyah Kauman Pisang Labuhan Haji tahun 1995-2005
Desa Ujung Batu Kec. Labuhan Haji Aceh
(disidangkan pada hari Jum’at, 4 Syakban 1431 H / 16 Juli 2010)


Pertanyaan:

1.    Bagaimana hukumnya imam dalam salat jamaah membaca al-Quran dalam satu surat terbalik urutannya? Dalam rakaat pertama membaca:
آمَنَ الرَسُوْلُ بِمَا أُنْزِلَ  sampai denganفَانْصُرْنَا عَلَي اْلقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ [الْبَقَرَةُ : 285-286]
Pada rakaat kedua membaca:
وَ إِذاَ سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي  sampai denganلَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ [البقرة: 186]

2.     Dalam rubrik khutbah Jum’at yang dimuat SM banyak dijumpai bacaan salawat:
وَ الصَّلاَةُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bolehkah bacaan salawat seperti itu dibaca dalam salat ketika duduk tahiyat?

3.      Dalam SM no 23 tahun 2009 khutbah yang disampaikan Kusun Dahari dituliskan hadis:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Hadis itu ditafsirkan dengan ayat al-Quran surat an-Nisa ayat 9 : 

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Pertanyaannya; Apakah boleh hadis Nabi diperjelas dengan ayat al-Quran seperti termuat juga dalam khutbah Jum’at SM no. 4 tahun 2010? Penulis pernah mendengat pendapat yang mengatakan haram hal itu.

Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara sampaikan. Kami telah merangkum pertanyaan-pertanyaan saudara menjadi tiga hal. Adapun jawaban untuk pertanyaan saudara tersebut adalah sebagai berikut:

1.  Pada dasarnya sunnah Rasulullah saw dalam membaca surat al-Qur’an ketika menjadi imam sungguh sangat berbeda dengan yang selama ini sudah menjadi kebiasaan di tengah umat Islam. Perbedaan tersebut terdapat dalam beberapa hal. Pertama, Rasulullah saw jarang sekali membaca ayat-ayat al-Quran yang sangat pendek. Ketika salat subuh misalnya, beliau biasa membaca surat Qaf pada rakaat pertama dan surat ar-Rum pada rakaat kedua. Beliau juga terkadang membaca surat at-Takwir untuk rakaat pertama dan al-Zilzalah untuk rakaat kedua (HR Ahmad). Hanya dalam kondisi perjalanan (safar) saja beliau membaca surat pendek seperti al-Falaq dan an-Nas. Dalam salat zuhur demikian juga. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim menerangkan hal tersebut:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ لَقَدْ كَانَتْ صَلاَةُ الظُّهْرِ تُقَامُ فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقْضِى حَاجَتَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يَأْتِى وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى مِمَّا يُطَوِّلُهَا [رواه مسلم]

Artinya: “Dari Abu Said al-Khudriy, ia berkata: suatu ketika salat zuhur ditunaikan, lalu seseorang pergi ke (perkampungan) Baqi’ dan ia melaksanakan aktivitasnya (di sana), kemudian ia berwudlu lalu mendatangi jamaah salat dan Rasulullah Saw. (yang menjadi imam) masih berada pada rakaat pertama karena saking panjangnya apa yang beliau baca”.[HR. Muslim]

Perbedaan kedua adalah Rasulullah saw tidak pernah membaca surat secara sepotong-sepotong. Dalam keterangan hadis-hadis ditemukan bahwa Rasulullah saw selalu membaca ayat secara sempurna, baik diselesaikan dalam satu rakaat, ataupun dibagi ke dalam dua rakaat. Dalam salat Maghrib misalnya, beliau membaca surat al-A’raf dalam dua rakaat, atauath-Thur dan al-Mursalat atau membaca al-Mu’awwidzatain (al-Falaq dan al-Nas) [Ibnu al-Qayyim, Zadul Ma’ad, vol. I, hal. 205, Sayyid Sabiq, vol. I, hal. 183].

Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw tersebut bukanlah suatu kewajiban yang juga harus dilakukan oleh umatnya. Dalam kaedah ushul fikih disebutkan: 

مُجَرَّدُ الْفِعْلِ لَا يُفِيْدُ الْوُجُوْبَ
Artinya: “Perbuatan Nabi semata (yang tidak diiringi oleh indikasi lain) tidak menunjukkan kewajiban.”

Yang diperintahkan dan menjadi kewajiban hanyalah membaca suratnya saja, bukan panjangnya bacaan atau kesesuaian dengan contoh dari Nabi saw. Dalam al-Quran disebutkan: 

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ [المزمّل، 73: 20]

Artinya: “…karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an.” [QS. al-Muzzammil (73): 20]

Namun, bagi para imam yang ingin menegakkan sunnah Rasulullah saw serta dengan mempertimbangkan kenyamanan jamaah dengan bacaan panjang, maka tentu mengikuti sunnah Rasulullah saw adalah lebih utama. Berkenaan dengan membaca ayat tidak berdasarkan urutan dalam rakaat pertama dan rakaat kedua, kami berpandangan hal tersebut tidaklah dilarang, karena tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Namun kami berpandangan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang mafdhul-tidak utama (kebalikan dariafdhal) karena tidak sesuai dengan sunah Nabi saw. Dengan demikian kami berpandangan sebaiknya tidak dilakukan.  

2.      Shalat adalah ibadah mahdhah yang bersifat tawqifiy (aturan dan tatacaranya harus mengikuti praktek Rasulullah saw). Manusia tidak diperkenankan untuk menambah bentuk bacaan dan aktivitas apapun yang tidak dicontohkan Rasulullah saw dalam salat. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw telah bersabda: 

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى [رَوَاهُ الْبُخَارِي]


Artinya: “Salatlah sebagaimana kamu sekalian melihat aku salat.” [HR. al-Bukhari]

Sementara itu, tidak ada satu keterangan pun yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah memerintahkan untuk membaca salawat kepadanya dalam salat dengan menambahkan kata “sayyidina”. Hadis-hadis Nabi saw yang menerangkan bacaan salawat dalam salat antara lain adalah sebagai berikut: 

عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قال قُلْنَا يا رَسُولَ اللَّهِ هذا السَّلَامُ عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ كما صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كما بَارَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إبراهِيْمَ [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudriy, ia berkata: kami mengatakan pada Rasulullah: Ini adalah cara mengucapkan salam kepadamu (dalam salat), tapi bagaimana cara kami membaca salawat kepadamu? Rasulullah saw bersabda: Katakanlah, Allahumma shalli ‘ala Muhammadin abdika wa rasulika kama shallayta ‘ala Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim”[HR al-Bukhari]

عن كَعْبِ بن عُجْرَةَ قال قُلْنَا أو قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَرْتَنَا أَنْ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ وَأَنْ نُسَلِّمَ عَلَيْكَ فَأَمَّا السَّلَامُ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قال قُولُوا اللهم صَلِّ على مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كما صَلَّيْتَ على إبراهيم وَبَارِكْ على مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كما بَارَكْتَ على آلِ إبراهيم إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah ia berkata: Kami berkata atau mereka berkata: Wahai Rasulullah, engkau menyuruh kami bersalawat kepadamu dan membaca salam kepadamu. Adapun (bacaan) salam kami telah mengetahuinya, tetapi bagaimana cara kami bersalawat kepadamu? Rasulullah saw bersabda: Katakanlah: “Allahuma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama shallayta ‘ala Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ‘ala ali Ibrahim innaka hamidun majid”.” [HR Muslim] 

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنِ النَّبِيِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ فِي الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ [رَوَاهُ الشَافِعِي فِي كِتَابِ الْأُمِّ]

Artinya: “Dari Ka’ab bin Ujrah dari Nabi saw, bahwasanya ketika salat ia mengucapkan:Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama shallayta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim innaka hamidun majid”[HR asy-Syafii di Kitab al-Umm]

Dengan demikian, menambahkan kata “sayyidina” dalam salat adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya sama sekali dan oleh karenanya tidak perlu dilakukan. 

3.      Al-Qur’an dan Hadis adalah dua pusaka yang ditinggalkan untuk umat Islam selaku umat yang hidup di akhir zaman. Sebagai sumber hukum, hadis terletak pada urutan ke dua setelah al-Qur’an. Posisi hadis terhadap al-Qur’an sendiri adalah sebagai mubayyin (menjelaskan) hal-hal yang umum, muakkid (memperkuat) apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan mutsbit(menetapkan) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya. Namun, keduanya tetaplah satu kesatuan yang berfungsi sebagai huda (petunjuk) bagi kehidupan manusia. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa ketaatan terhadap Allah berada dalam satu paket dengan ketaatan pada Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا[النساء، 4: 59]

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[QS. an-Nisa' (4): 59]

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw juga bersabda: 

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ [رواه مالك]

Artinya: “Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara, selama-lamanya tidak akan tersesat jika kamu sekalian senantiasa berpegang kepada keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” [HR. Malik]

Dalam permasalahan yang saudara tanyakan, hadis tentang tiga peninggalan yang tidak akan putus pahalanya memiliki kesamaan munasabah (konteks) dengan ayat al-Qur’an surat al-Nisa ayat 9. Dalam khazanah keilmuan Islam, penjelasan dengan metode seperti itu disebut dengan syarh bil-matsur (penjelasan dengan menggunakan nash) selain metode lainnya yang disebut syarh bil-‘aql (penjelasan dengan akal).

Para ulama juga banyak yang melakukan hal tersebut di dalam karya-karya mereka. Saudara bisa mengeceknya misalnya ke kitab hadis Arbain Nawawiyah karya Imam an-Nawawi. Hadis-hadis yang termuat dalam kitab tersebut telah banyak di-syarah (dijelaskan) oleh para ulama dan juga telah banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Misalnya, pada hadis pertama tentang niat, para ulama yang menjelaskan hadis ini biasanya menghubungkannya dengan ayat al-Qur’an surat al-Bayyinah ayat 5 dan beberapa ayat lainnya.
Berangkat dari keterangan tersebut, maka menjelaskan hadis dengan ayat al-Quran adalah satu hal yang dibolehkan. Demikian jawaban kami. Semoga Allah selalu menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita.

Wallahu A’lam. *M-Rf)



Hukum Menghias Masjid dengan Kaligrafi Al-Qur'an



Hukum Menghias Masjid dengan Kaligrafi Al-Qur'an


Pertanyaan Dari:
a.n. Ta’mir Masjid al-Islah, Jl. Nyi Adisari No 740 Pilahan Kotagede Yogyakarta
(disidangkan pada hari Jum’at, 17 Zuhijjah 1433 H / 2 November 2012 M)


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kami ingin konsultasi masalah agama kepada Majelis Tarjih. Hal ini terkait rencana panitia masjid (takmir) yang berencana merenovasi sedikit bagian dalam masjid. Rencananya bagian yang akan direnovasi adalah bagian jendela yang terbuat dari kaca, dan kebetulan masjid kami tersebut di sebelah kanan imam terdapat jalan, jadi ketika shalat sedikit banyak mengganggu kekhusyukan dalam beribadah. Oleh sebab itu kami berencana mengganti jendela tersebut dengan jendela dari kayu dan rencananya di bagian jendela tersebut akan dihiasi dengan kaligrafi yang memuat asmaul-husna.

Permasalahan kami adalah: apakah boleh menghiasi masjid dengankaligrafi yang terdiri dari ayat-ayat al-Qur'an? Mohon diberikan penjelasan yang komprehensif. Terima kasih

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Para pengurus ta’mir Masjid al-Islah Kotagede yang dirahmati Allah swt. Pada prinsipnya, menulis ayat-ayat al-Qur’an atau penggalan ayat tertentu yang memiliki pesan untuk mengajak seseorang salat berjamaah, khusyuk dalam beribadah, menjaga etika di rumah Allah (masjid) dengan menulisnya di dinding masjid, atau menggunakan media tertentu seperti kaca, kayu dan sejenisnya lalu ditempel di dinding masjid merupakan hal yang mubah (boleh) hukumnya. Bahkan menulis ayat dan hadis tertentu dengan maksud memberikan motivasi ibadah, syi’ar Islam serta agar masjid terlihat indah dengan kaligrafi yang bagus, termasuk persoalan yang diperbolehkan. Islam disamping memperhatikan aspek hukum, juga sangat memperhatikan aspek etika dan estetika.
Bahkan jika dibaca tentang sejarah awal pemeliharaan al-Qur’an hingga pengumpulan dan penulisannya sejak masa Rasulullah saw hingga masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun, para sahabat menjaga al-Qur’an dengan dua metode sekaligus, yaitu metode menghafal (al-jam’u fi ash-Shudur), dan metode penulisan al-Qur’an (al-jam’u fi ash-shuthur) baik di pelepah kurma, bebatuan, dedaunan hingga  kulit binatang yang sudah disamak. Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat dan juru tulis wahyu (kuttab an-Nabi/kuttab al-wahyi), sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut ini:

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ جَمَعَ الْقُرْآنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعَةٌ كُلُّهُمْ مِنْ الْأَنْصَارِ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَبُو زَيْدٍ. [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, (ia) berkata; saya telah bertanya kepada Anas bin Malik ra., siapakah orang yang telah mengumpulkan al-Qur’an pada masa Nabi saw? Anas menjawab: ada empat orang seluruhnya dari kaum Anshar, yaitu; Ubai bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengusulkan dan menyarankan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq untuk mengumpulkan dan membukukan (memushafkan) al-Qur’an agar tidak hilang seiring dengan banyaknya para huffazh (para penghafal al-Qur’an) yang meninggal baik saat peperangan maupun lainnya. Dengan pertimbangan yang sangat matang dan berat akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar untuk mengumpulkan dan menulis kembali al-Qur’an dengan memerintahkan beberapa sahabat juru tulis wahyu pada Nabi saw., dengan menjadikan Zaid bin Tsabit sebagai penanggung jawabnya. Dengan pertimbangan yang sangat mendalam pula, akhirnya Zaid bin Tsabit menerima usulan Abu Bakar tersebut, lalu beliau mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai sumber, antara lain sebagaimana dijelaskan dalam penggalan riwayat al-Bukhari berikut ini:

... ... قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعُمَرُ عِنْدَهُ جَالِسٌ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ وَلَا نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... ... فَقُمْتُ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الرِّقَاعِ وَالْأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ. [رواه البخاري]

Artinya: “… ... Zaid bin Tsabit berkata dan Umar duduk bersamanya tanpa bicara sedikitpun. Lalu Abu Bakar berkata (kepada Zaid bin Tsabit): sesungguhnya engkau adalah seorang yang muda belia, cerdas dan kami tidak menyangsikanmu sedikitpun. Engkau telah menulis wahyu bagi Rasulullah saw … … lalu saya berdiri (menerima amanah tersebut), lalu saya mencari dan mengumpulkan al-Qur’an dari kulit-kulit binatang (yang sudah disamak), tulang-tulang, pelepah-pelepah kayu (kurma) dan dari hafalan para sahabat. [HR. al-Bukhari]

Salah satu kesimpulan yang dapat dipetik dari riwayat tersebut adalah tentang kebolehan menulis ayat al-Qur’an baik pada pelepah kayu (papan dan sejenisnya), kulit dan tulang binatang yang halal dimakan seperti sapi dan kambing dan media lainnya. Namun, sekalipun menulis kaligrafi berupa ayat-ayat al-Qur’an atau kalimat-kalimat yang terkait dengan nama dan sifat-sifat Allah swt. (al-Asma’ al-Husna) diperbolehkan secara syar’i, tetapi yang harus diperhatikan ta’mir masjid al-Islah khususnya dan umat Islam pada umumnya adalah hendaknya media yang digunakan untuk menulis ayat al-Qur’an tersebut harus dipastikan kesuciannya (bukan barang najis), diletakkan pada posisi yang tepat dan terhormat (bukan di kamar mandi dan sejenisnya), dan tidak berlebihan sehingga membuat jamaah terganggu kekhusyukannya dalam melaksanakan salat.
Terkait dengan tempat yang dilarang untuk menulis ayat al-Qur’an maupun tulisan-tulisan yang terdapat nama-nama Allah dan Rasul-Nya sebagaimana penjelasan di atas adalah kamar mandi, WC dan sejenisnya. Hal ini dapat difahami dari spirit hadis Nabi saw. sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ نَزَعَ خَاتَمَهُ.[رواه الترمذي والنسائي وأبوداود وابن ماجة]

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: adalah Rasulullah saw apabila masuk ke kamar kecil beliau menanggalkan cincinnya (yang bertuliskan Muhammad Rasulullah).” [HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah]

Ketika menjelaskan matan hadis tersebut, para ulama menyatakan bahwa hadis ini merupakan dalil tentang larangan membawa, menyebut maupun menuliskan nama-nama Allah, Rasulullah dan al-Qur’an. Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat tentang kesunnahan untuk tidak membawa (termasuk tulisan) atau menyebutkan seluruh nama dan sifat-sfat Allah, nama para Nabi dan Malaikat, namun jika hal itu dilanggar maka hukumnya makruh.

Dari penjelasan tersebut, maka langkah yang ditempuh oleh pihak ta’mir Masjid al-Islah untuk menutup bagian masjid yang dapat mengganggu kekhusyukan salat merupakan langkah yang sangat tepat. Adapun solusi yang ditempuh dengan membuat jendela yang diukir dengan kaligrafi al-asma’ al-husna maupun ayat-ayat al-Qur’an pada prinsipnya hukumnya mubah (boleh) dengan memperhatikan aspek-aspek etika, estetika dan hukum sebagaimana dijelaskan di atas.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Anak Yatim



Status Anak Yatim Berbapak Tiri dan Santunannya


 Pertanyaan dari:
Syafri Said, S.Pd, MMKetua PCM Lb. Jambi Kuansing Riau
(disidangkan pada hari Jum’at, 26 Jumadilakhir 1433 H / 18 Mei 2012 M)


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr.wrb.
Saya mau bertanya tentang beberapa hal yang berhubungan dengan anak yatim sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Ma’un:
1.     Bagaimana status anak yatim yang sudah mempunyai bapak tiri, apakah masih berstatus anak yatim atau bagaimana?
2.      Apakah kita masih berkewajiban menyantuni anak yatim yang mempunyai bapak tiri yang ekonomi orang tuanya sudah mapan?
3.    Seandainya kita santuni juga, apakah sama  jumlah santunan anak yatim yang berbapak tiri itu dengan yang tidak mempunyai bapak tiri?
Mohon penjelasannya, terima kasih.


Jawaban:

Wa’alaikumus salam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan, jawaban akan kami sampaikan secara berurutan sesuai dengan pertanyaannya.
1.      Secara bahasa, pengertian yatim berasal dari bahasa Arab yang berarti orang yang kehilangan (kematian) bapaknya yang wajib menanggung nafkahnya. Selain itu dalam khazanah kearifan Arab terdapat perkembangan pengertian yatim yang tidak dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, tapi dihubungkan dengan ilmu dan moralitas. Kearifan itu menyatakan:

لَيْسَ اليَتِيْمُ الَّذِى قَدْ مَاتَ وَالِدُهُ    بَلْ اليَتِيْمُ يَتِيْمُ الْعِلْمَ وَ الْأدَبَ
Artinya: Orang yatim itu bukanlah orang yang ayahnya telah meninggal, tapi orang yang tidak memiliki ilmu dan budi pekerti.

Berdasarkan hal tersebut maka yatim yang seharusnya mendapatkan pelayanan bukan hanya anak yang terlantar secara ekonomi, tapi juga anak yang terlantar pendidikan, pemeliharaan kesehatan dan pembinaan akhlaknya. Mereka itu dapat meliputi anak-anak yang orang tua atau keluarga mereka, karena kemiskinan dan sebab-sebab yang lain, tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pengasuh, seperti anak-anak jalanan dan anak-anak yang menjadi korban trafficking (perdagangan manusia), korban narkoba, salah pergaulan dan korban teknologi komunikasi. Dengan memperhatikan substansi keyatiman itu adalah “kesendirian”, maka orang-orang yang dikucilkan masyarakat dengan alasan tertentu, seperti penyakit dan orientasi seksual, juga dapat dikelompokkan sebagai yatim.
Masa keyatiman seorang anak terhenti ketika ia telah baligh dan tampak rusyd (mandiri) pada dirinya. Sehingga orang yang sudah baligh tidak lagi dinamakan anak yatim. Firman Allahswt:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ.
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” [QS. an-Nisa' (4): 6]

Anak yatim dalam pandangan Islam menduduki posisi khusus dan terhormat karena anak yatim memiliki kelemahan dan kekurangan, sehingga memerlukan pihak lain untuk membantu dan memeliharanya. Anak yatim harus disantuni, dikasihi, dihormati dan diakui eksistensinya secara khusus. Tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang, baik terhadap diri maupun hartanya. Hak-haknya harus diakui dengan cara memelihara, mendidik dan membinanya. Sebagaimana firman Allah swt:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ. فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ.

Artinya: "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim." [QS. al-Ma'un (107): 1-2]

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ. وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ.

Artinya: “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” [QS. ad-Dluhâ (93): 9 -10]

وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولا.

Artinya: Janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara terbaik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabnya.” [QS. al-Isra’ (17): 34]

Ayat-ayat tersebut memerintahkan untuk menyantuni, membela dan melindungi anak yatim serta melarang dan mencela orang-orang yang menyia-nyiakan dengan bersikap kasar atau menzalimi mereka.
Adapun penyantunan terhadap anak yatim, maka dapat dilaksanakan dalam bentuk-bentuk berikut ini:
a.    Memberi perlindungan.

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ.
Artinya: Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu? [QS.ad-Dluhâ (93): 6]

b.      Memperhatikan masa depan

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي  ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا.

Artinya: Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; bukanlah Aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. [QS. al-Kahfi (18): 82]

c.      Menghindari perlakuan tidak adil.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ  ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا.

Artinya: Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya[QS. an-Nisâ’ (4): 3]

d.   Mengurus anak yatim

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ  قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدَانِ وَأَن تَقُومُوا لِلْيَتَامَىٰ بِالْقِسْطِ  وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا.

Artinya: Mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita, katakanlah: ”Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran juga memfatwakan tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka; dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Allah menyuruh kamu supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. [QS. an-Nisâ’ (4): 127]

e.    Memberi santunan:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا.
Artinya: Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. [QS. al-Insân (76): 8]

f.     Tidak berlaku kasar

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ.
Artinya: Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” [QS. ad-Dluhâ (93): 9 -10]

g.    Mengelola harta yang dimilikinya dengan cara terbaik:

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ  وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ  إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا .
Artinya: Janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara terbaik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. [QS. al-Isra’ (17): 34]

Berdasarkan keterangan di atas maka secara biologis, anak  yatim yang sudah mempunyai bapak tiri masih berstatus yatim sepanjang belum mencapai rusyd (mandiri). Sedangkan secara psikologis dan sosiologis anak itu tidak berstatus yatim karena sudah ada yang memenuhi kebutuhannya baik secara jasmani maupun rohani.

2.      Kewajiban menyantuni anak yatim adalah termasuk salah satu dari perbuatan yang dihukumi dengan fardhu kifayah. Artinya, menyantuni anak yatim adalah kewajiban yang dibebankan bagi setiap muslim. Namunapabila sudah ada seseorang yang menanggungnya, maka kewajiban muslim yang lain menjadi gugur. Jika anak yatim sudah mempunyai bapak tiri yang mapan dan sanggup untuk mencukupi kebutuhannya maka kewajiban untuk mengasuh dan memberinya nafkah sudah terpenuhi sehingga tidak lagi menjadi kewajiban umat Islam yang lain. Kewajiban umat Islam yang lain hanyalah menyantuni mereka dengan cara selain memenuhi kebutuhan materinya, misalnya dengan berlaku baik dan tidak berlaku kasar kepada mereka.
3.      Jika akan menyantuni anak yatim yang sudah mempunyai bapak tiri, maka perlu dilihat kondisi ekonomi bapak tirinya tersebut. Apabila bapak tirinya memiliki ekonomi yang kurang dan belum dapat memenuhi kebutuhan anak yatim tersebut, maka umat Islam lainnya berkewajiban untuk menyantuni dan memenuhi kebutuhannya sebagaimana mereka wajib menyantuni dan memenuhi kebutuhan anak yatim lain yang tidak mempunyai bapak tiri. Namun apabila bapak tirinya sudah mapan dan mampu memenuhi kebutuhannya, maka umat Islam lainnya tidak berkewajiban untuk menyantuninya. Alangkah baiknya jika harta yang dimiliki digunakan untuk menyantuni anak yatim yang lain yang kebutuhannya masih belum terpenuhi. Hal ini dilakukan agar menghindari sifat mubadzir dan berlebih-lebihan. Allah berfirman:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا.
Artinya: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. [Qs. al-Isra’ (17): 27]

يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ.
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan[QS. al-A’raf (7)71]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Categories:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Copyright © apa aja boleh part 2 | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | BTheme.net      Up ↑